Mengapa Paramaswara dan Bukan Parameswara?

Sebagai nama situs yang digunakan, Paramaswara memiliki makna tersendiri yang berbeda dengan nama Parameswara yang dikenal sebagai Raja pertama dan pendiri Kesultanan Malaka. Walaupun yang dimaksud berbeda dalam makna dan filosofi namun kemiripan ini bukan tidak disengaja melainkan dimaksudkan juga untuk mengenang kejayaan bangsa Melayu di masa lalu sebagai dasar kejayaan bangsa Melayu Nusantara di masa kini dan akan datang.

Aryandi Yogaswara

5/8/20241 min read

An open book with text in a South Asian script, possibly Bengali, lies on a flat surface. A sprig of delicate purple flowers rests across the pages, adding a decorative and contemplative element. The background is a solid, warm red, enhancing the contrast with the book and flowers.
An open book with text in a South Asian script, possibly Bengali, lies on a flat surface. A sprig of delicate purple flowers rests across the pages, adding a decorative and contemplative element. The background is a solid, warm red, enhancing the contrast with the book and flowers.

MENGAPA PARAMASWARA DAN BUKAN PARAMESWARA?

1. Parameswara = Parama + Iswara

Ini adalah asal-usul baku dalam tradisi Sanskerta dan Hindu-Siwa:

  • Parama (परम) = tertinggi, agung, suci

  • Īśvara (ईश्वर) = Tuhan, penguasa, pengendali tertinggi


Jadi Parameśvara (Parameswara) berarti “Tuhan Yang Maha Agung”, gelar bagi Dewa Siwa, tetapi juga digunakan secara umum untuk menyebut Tuhan dalam kerangka Hindu.

Dalam konteks sejarah:

  • Nama ini umum dipakai oleh raja-raja Hindu untuk menunjukkan kedekatan mereka dengan kekuasaan ilahi.

  • Digunakan oleh pendiri Melaka, Parameswara, sebelum masuk Islam (dan berganti nama menjadi Iskandar Shah).

2. Paramaswara = Parama + Swara

Ini adalah pendekatan metafisik-modern atau spiritual-filosofis, berdasarkan konsep tentang Aksara Swara.

  • Parama tetap berarti “yang tertinggi” atau “yang agung”

  • Swara dalam bahasa Sanskerta (स्वर) = suara, nada, getaran, napas kehidupan


Maka Paramaswara dapat dimaknai sebagai: “Suara Agung” atau “Getaran Ketuhanan"

Analisis Filosofis (dan relevansi dengan Aksara Swara):

Dalam konteks Aksara Swara dan pendekatan ruhani modern yang dibangun melalui Aksara Swara, nama “Paramaswara” lebih asli dan sesuai.

Karena aksara Swara tidak sedang mengangkat konsep Tuhan sebagai “penguasa” (Iswara) tetapi sebagai “getaran hidup” (Swara) yang universal, netral, dan menyatu dengan seluruh makhluk (ciptaan).

Dengan begitu:

  • Paramaswara bukan penguasa eksternal, melainkan kesadaran Ilahi internal dalam suara, napas, dan getaran hidup.

  • Ini juga menghindari konflik terminologis dengan agama-agama teistik yang bisa tersinggung dengan istilah "Iswara" sebagai gelar Tuhan personal.


Kesimpulan:

Secara historis, Parameswara adalah bentuk baku dan diterima akademik. Namun secara filosofis dan spiritual, Paramaswara memiliki makna yang lebih dalam, universal, dan selaras dengan gagasan mendasar dari Aksara Swara.